Pers Era Orde Lama



Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi.Tatap muka sebagai medium komunikasi tingkat rendah, dirasakan tidak lagi memadai akibat perkembangan masyarakat. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain untuk media komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers.
Menurut Rachmadi bahwa pers lahir dari kebutuhan rohaniah manusia, produk dari kehidupan manusia, produk kebudayaan manusia, adalah hasil dari perkembangan manusia.
Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa “ pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Adapun fungsi pers secara umum, yakni:
1.    memberi informasi, mendidik,
2.    memberikan kontrol,
3.    menghubungkan atau menjembatani,
4.    memberikan hiburan.
Sementara itu, menurut Mochtar Lubis, di negara-negara berkembang pers memiliki fungsi penting, yaitu:
1.    fungsi pemersatu,
2.    fungsi pendidik,
3.    fungsi publik watch dog atau penjaga kepentingan umum,
4.    fungsi menghapuskan mitos dan mistik dari kehidupan politik negara-negara berkembang,
5.    fungsi sebagai forum untuk membicarakan masalah-masalah politik yang dihadapi.
Mengingat betapa pentingnya keberadaan pers dalam negara demokrasi, maka pers memiliki peranan sebagai berikut.
a.Saluran informasi kepada masyarakat.
b.Saluran bagi debat publik dan opini publik.
c.Saluran investigasi masalah-masalah publik.
d.Saluran program pemerintah dan kebijakan publik kepada masyarakat.
e.Saluran pembelajaran.
Sedangkan menurut pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 disebutkan bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut.
a.Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b.Menegakkan nilai-nilai dasar berdemokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan.
c.Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d.Melakukan pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e.Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.



SEJARAH PERS

Masa orde lama merupakan masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang berlangsung dari tahun 1945 hingga tahun 1966. Namun, sebenarnya sejarah perkembangan pers nasional telah jauh dimulai sebelum itu. Pers nasional, yang awalnya hanya berupa surat kabar dan radio, muncul sejak masa pergerakan dan masa penjajahan, karena itulah pers pada masa itu dikenal sebagai pers perjuangan karena pers menjadi alat untuk merebut kemerdekaan dari penjajah
Pers masa pergerakan dimulai sejak saat Belanda menjajah Indonesia, tepatnya sejak munculnya surat kabar pertama di Indonesia yang benar-benar dikelola oleh orang pribumi asli, yaitu harian Medan Prijaji yang merupakan pelopor perkembangan pers nasional, yang terbit pertama kali pada tanggal 1 Januari 1907 di Bandung. Selanjutnya, muncul pergerakan oleh kalangan intelektual modern yang berjuang dengan partai politik dan pers. Setelah pergerakan Budi Utomo muncul pada tanggal 20 Mei 1908, pers nasional mulai banyak bermunculan dan digunakan sebagai corong dari organisasi pergerakan pemuda Indonesia. Karena itulah, pers masa pergerakan ini tidak dapat dipisahkan dari momen kebangkitan nasional. Organisasi lain selain Budi Utomo yang juga menerbitkan pers nasional adalah Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan Sarekat Indonesia. Pada masa ini berdiri pula kantor berita nasional pertama, yang bernama Antara, tepatnya pada tanggal 13 Desember 1937. Namun, karena pers masa pergerakan bersifat anti penjajahan, masa pemerintah Hindia Belanda melakukan sejumlah usaha untuk menekan dan menghentikan aktivitas pers, salah satunya ialah dengan menutup usaha penerbitan pers pergerakan tersebut. Gubernur Jenderal menggunakan kekuasaannya dengan hak eksorbitan (exorbitante recht) dan melarang penerbitan koran, atau yang disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Persbreidel-Ordonantie 7 September 1931 seperti yang dimuat dalam Staatsblad 1931 nomor 394 jo Staatsblad 1931 nomor 44. Dalam peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, disebutkan bahwa pihak penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat kabar dan majalah yang isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak pencetak, penerbit dan redaksinya tidak akan diberi kesempatan untk membela diri ataupun meminta keputusan dari tingkat yang lebih tinggi
Kewenangan ini memaksa para pejuang nasional yang berani kritis di dalam pers maupun partai politik, dibuang ke Digul dan daerah-daerah lain, dan koran-koran anti penjajahan Belanda berhenti terbit. Selain itu, pemerintah Belanda menetapkan ketentuan hukum pidana dalam pasal-pasal yang disebut haatzai artikelen, atau pasal-pasal “karet”, karena sangat longgar dalam interpretasinya. Pembuktian hukum untuk pasal-pasal pidana ini tidak melalui uji material atas perbuatan pelaku atau efeknya, tetapi melalui perkataan atau tulisan yang diinterpretasikan secara subyektif oleh penuntut yang mewakili pemerintah Belanda.

Perkembangan pers nasional selanjutnya terjadi pada masa penjajahan Jepang. Pada masa ini, pers nasional mengalami kemunduran besar, karena pers pergerakan yang tadinya berdiri sendiri-sendiri dipaksa bergabung menjadi satu untuk tujuan yang sama, yaitu mendukung kepentingan Jepang. Pers nasional pada masa itu berubah sifat menjadai pro Jepang dan hanya menjadi alat propaganda bagi pemerintah Jepang. Namun, di akhir penjajahan Jepang, pers nasional, khususnya radio, memiliki peran yang sangat besar dalam menyebarluaskan berita kekalahan Jepang di Perang Dunia II sehingga Indonesia dapat lebih matang dalam mempersiapkan kemerdekaannya .
Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berusaha menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada masa itu adalah surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 6 September 1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober 1945, harian Indonesia Merdeka pada tanggal 4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh Rosihan Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember 1949 di Jakarta .
Pada tahun 1945 sampai tahun 1949, Indonesia juga mengalami masa revolusi fisik, dimana Belanda berusaha kembali menjajah Indonesia. Sehingga, pada saat itu pers Indonesia harus bersaing dengan Pers NICA yang diterbitkan oleh pihak sekutu dan Belanda. Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda, Belanda menerbitkan beberapa surat kabar berbahasa Indonesia untuk mempengaruhi rakyat Indonesia agar mau menerima kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu harian Fadjardi Jakarta, Soeloeh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, serta harian Padjadjaran dan Persatoean di Bandung. Bulan Desember 1948, Indonesia mencetak 124 surat kabar dengan oplah 405.000 eksemplar, namun pada bulan April tahun 1949, jumlahnya menurun menjadi 81 surat kabar dengan oplah 283.000 eksemplar saja karena adanya Agresi Militer Belanda.
Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga tahun 1959, Indonesia menetapkan menganut paham demokrasi liberal. Sesuai namanya, pada masa ini, pers nasional sangat menikmati kebebasan pers yang dimilikinya, terutama bagi wartawan politik. Pada masa ini pers nasional mengalami perubahan fungsi dari pers perjuangan menjadi pers partisan yang menjadi corong partai politik. Setiap bentuk pers nasional umumnya mewakili aliran politik tertentu yang berbeda. Pada masa ini terjadi peningkatan jumlah surat kabar Indonesia. Pada tahun 1950, terdapat 67 surat kabar dengan 383.000 eksemplar, lalu pada tahun 1957 terdapat 96 surat kabar dengan 888.950 eksemplar. Empat surat kabar besar di Indonesia pada masa itu adalah harian Rakyat (PKI) dengan 55.000 eksemplar, Pedoman (PSI) dengan 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia(PNI) dengan 40.000 eksemplar, dan harian Abadi (Masyumi) dengan 34.000 eksemplar .
Akhirnya, pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara. Masa ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, pers nasional menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong penguasa yang harus mendukung kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa dalam memberikan informasi dan mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan manipol dan setiap kebijakan pemerintah.
Penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui sistem regulasi represif. Dalam upaya mengkonsolidasi kekuasaannya, Soekarno dengan ketat mengontrol pers dan berusaha membuat pers menjadi jinak dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan pers harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk mendapatkan SIT (Surat Ijin Terbit). Agar ijin tersebut diperoleh, pers harus memenuhi persyaratan tertentu seperti, loyal kepada manifesto politik Soekarno, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme, federalisme, dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi diharuskan menandatangani dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan kewajiban untuk setia pada program manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri. Tujuannya ialah menjadikan pers sebagai alat pendukung, pembela, dan penyebar manifesto politik Soekarno.   
Akibatnya, pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol Soekarno. Wartawan Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin sebagai pers manipol. Setelah harian Indonesia Raya dilarang terbit pada tahun 1961, Mochtar Lubis, sang editor dipenjara di Madiun bersama PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, dan Soebadio Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh Presiden Soekarno.
Soekarno kemudian menempatkan percetakan swasta di bawah pengawasan pemerintah berdasarkan Peraturan Administrasi Militer Tertinggi no.2/1961. Pada tanggal 15 Mei 1963, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pemberian wewenang kepada Menteri Penerangan untuk menangani pedoman pers. Lalu, pada tanggal 12 September 1962, kantor berita Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit Presiden no.307/1962 (Semma, 2008: p.106).
Kantor berita Antara selanjutnya berada dalam pengaruh kaum komunis,  seiring dengan semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian sampai pada taraf kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan bersifat pro-komunis. Surat kabar milik PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya meningkat menjadi 75.000 eksemplar pada tahun 1964 dan terus meningkat menjadi 85.000 eksemplar pada tahun 1965. Hal ini kemudian mendorong para wartawan dari 10 surat kabar yang tergabung dalam BPS (Barisan Pendukung Soekarno) gigih menentang PKI. Pertentangan ini terlihat jelas pada isi berita harian Rakyat milik PKI melawan harian Merdeka milik B.M.  Diah. Namun, Soekarno ternyata lebih memihak PKI karena menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai landasan kekuasaan daripada kaum nasionalis. Sehingga pada bulan Februari dan Maret tahun 1965, 17 surat kabar yang tergabung dalam BPS dilarang terbit.
Tak menyerah, pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha. Pada bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Nomor 29 yang menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9 partai politik yang ada. Aturan tersebut merupakan upaya Soekarno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai-partai politiklah yang pertama mengontrol surat kabar. Karena itulah, Frans Seda dari Partai Katholik ingin menerbitkan surat kabar Katholik. PK Ojong dan rekannya Jakob Oetama kemudian ditunjuk sebagai pemimpin redaksi dan editor. Pada tanggal 28 Juli 1965, harian Kompas terbit pertama kali. Surat kabar Indonesia mengalami peningkatan oplah, dari yang awalnya hanya berjumlah 692.500 eksemplar pada tahun 1961, empat tahun kemudian, pada tahun 1965, surat kabar di Indonesia berjumlah 114 dengan oplah 1.469.350 eksemplar .
Pada masa ini pula, muncul saluran televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI yang awalnya digunakan untuk menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun, setelah menayangkan acara tersebut, TVRI belum dapat meneruskan siarannya, karena tidak adanya studio khusus dan keterlambatan persediaan film. Lalu, atas desakan Yayasan Gelora Bung Karno, pemerintah membangun studio darurat sebagai studio operasional TVRI yang memungkinkan siaran TVRI selama satu jam setiap harinya, hingga akhirnya jam siaran TVRI terus bertambah dan pada tanggal 12 November 1962, TVRI mulai mengudara secara reguler setiap hari. TVRI berperan sentral dalam proses komunikasi politik pemerintah. TVRI adalah medium untuk mempromosikan program-program pemerintah, memperteguh konsensus nasional tentang budaya nasional, pentingnya pembangunan, tertib hukum, dan menjaga kemurnian identitas bangsa. TVRI lebih banyak diperlakukan sebagai alat propaganda pemerintah untuk propaganda politik ke dalam dan ke luar negeri, serta medium konsolidasi kekuasaan dan monopoli informasi oleh pemegang kekuasaan.

Tahap – Tahap Perkembangan PERS di Indonesia       

1. Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan, surat kabar yang dikeluarkan oleh bangsa Indonesia berfungsi sebagai alat perjuangan pers yang menyuarakan kepedihan penderitaan dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa yang terjajah.

a. Masa Pendudukan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.
Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan
          Ciri-Ciri pers pada masa belanda :

  • Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

  • Persbreidel Ordonantie

  • Haatzai Artikelen

  • Kontrol yang Keras Terhadap Pers                



b.  Masa Pendudukan Jepang
  Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
            Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang :

  • Penekanan Terhadap Pers Indonesia

  • Bersifat fasis memanfaatkan  instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya



C.Masa Revolusi Fisik
            Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan.
Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.
Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi:

  • Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik

  • Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik

  • Pembatasan Pers



2. Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949)
Pada masa itu pers dibagi menjadi 2 golongan yaitu pers yang diterbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan sekutu dan belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik.

3. Masa Demokrasi Liberal (1949-1959)
Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati kebebasan Pers. Fungsi Pers pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik. Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.
Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal

  • Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak

  • Pembatasan Terhadap Pers           

  • Adanya Tindakan Antipers



4. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di beri tugas menggerakkan aksi-aksi masa yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan membangkitkan jiwa dan kehendak masa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainya.
            Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965.
Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin

  • Tidak Adanya Kebebasan Pers
  • Adanya Ketegasan Terhadap Pers

  • Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers

    Pers Era Orde Lama
    Orde lama berjalan antara tahun 1945-1966. Pers orde lama dimulai ketika Indonesia merdeka. Wartawan Indonesia mengambil alih percetakan-percetakan asing dan mulai menerbitkan surat kabarnya sendiri. Tidak bertahan beberapa lama, Belanda kembali dan ingin kembali menjajah sehingga surat kabar dalam negeri harus terasing dengan surat kabar Belanda yang melakukan propaganda pemberitaan agar masyarakat mau kembali kepada masa Pemerintahan Belanda. Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya, dan memilih menjalankan demokrasi liberal. Dalam masa ini, pers memiliki kebebasan untuk menerbitkan surat kabar sesuai dengan aliran atau sesuai partai politik yang didukung (kurang lebih sama dengan apa yang dimiliki pers saat ini).
    Menyusul ketegangan yang terjadi dalam pemerintahan, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian menjadi akhir dari kebebasan pers. Dimulai dari itu, Indonesia menganut demokrasi terpimpin. Sistem otoriter tersebut kemudian memaksa pers untuk tunduk pada pemerintahan. Segala aktivitas dan pemberitaan yang dilakukan oleh pers harus melalui sensor. Bahkan setiap Pers harus memperoleh SIT atau Surat Ijin Terbit dari pemerintah.
    Pemberedelan beberapa surat kabar dilakukan oleh pemerintah setelah peringatan yang diberikan oleh menteri penerangan, Maladi. Pemberedelan dilakukan bukan hanya kepada surat kabar asing namun juga surat kabar dalam negeri. Pers yang ingin tetap bertahan harus mau menjadi alat pemerintah untuk menggerakkan massa dan mengikuti kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Tidak hanya media pers surat kabar, bahkan media pers televisi yang saat itu hanya ada TVRI bahkan diperalat pemerintah dan menjadi sarana komunikasi politik yang dikuasai pemerintah. Pers yang awalnya adalah pers perjuangkan yang melawan pemerintahan Belanda ( penjajah ) beralih menjadi pers simpatisan yang cenderung menjadi pendukung dari partai-partai politik tertentu.
      
    ETIKA PERS
    Jika dilihat dari sejarah perkembangan pers masa orde lama dari awal tahun 1945 hingga tahun 1966, terjadi pergeseran dari pers perjuangan yang awalnya berperan besar dalam membentuk nasionalisme rakyat Indonesia dan mampu menggerakkan rakyat dalam merebut kemerdekaan, menjadi pers simpatisan yang hanya menjadi corong partai politik tertentu. Sejak masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, pers Indonesia semakin terkekang dan mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah berusaha mengontrol dan membatasi pers dengan mengeluarkan SIT (Surat Ijin Terbit) yang wajib dimiliki setiap usaha penerbitan pers dan setiap pemimpin redaksi yang masih ingin menerbitkan surat kabarnya diwajibkan menandatangani dokumen kontroversial berisi 19 pasal kewajiban pers untuk patuh dan mendukung manipol Soekarno (Semma, 2008).
    Disinilah, etika jurnalistik para pekerja pers dipertanyakan. Apakah mereka lebih memilih untuk mempertahankan ideologi mereka sendiri dan menolak menandatangani dokumen itu, yang artinya mereka harus siap untuk diasingkan, surat kabar mereka diberangus dan dibreidel? Ataukah mereka memilih untuk menandatangani dokumen tersebut demi kelangsungan surat kabar dan hidup mereka? Sebagian wartawan dan editor, seperti Mochtar Lubis memilih menolak menyetujui dokumen tersebut hingga akhirnya dipenjara selama 9 tahun dari tahun 1957 hingga tahun 1966. Namun, kisah lain ditorehkan Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman, salah satu surat kabar terkemuka pada masa itu. Rosihan Anwar terpaksa menandatangani dokumen yg kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap hidup. Namun ironisnya, tak berapa lama kemudian, pada bulan Januari tahun 1961, harian Pedoman dilarang terbit karena dianggap lebih memihak partai lain selain PKI yang berkuasa pada masa itu. Mochtar Lubis yang saat itu sedang menjalani masa penahanan dan merupakan orang yang paling menentang keberadaan dokumen tersebut kemudian memberikan informasi kepada International Press Institute (IPI) bahwa Rosihan Anwar telah menandatangani dokumen tersebut. Akibatnya, Rosihan Anwar untuk sementara waktu dikeluarkan dari keanggotaaan IPI. Dalam surat penjelasan kepada IPI, Rosihan berkilah bahwa itulah cara terbaik untuk tetap menjadi wartawan, mendobrak penghalang dan tetap menjaga agar kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tetap hidup (Semma, 2008: p. 105-106).
    Jika ditinjau dari pendekatan etika komunikasi, sanksi yang diberikan IPI kepada Rosihan Anwar termasuk harian yang dipimpinnya, yaitu harian Pedoman, merupakan hal yang dipelajari dalam pendekatan makro etika komunikasi. Hal itu karena etika yang dikenakan merupakan etika komunikasi antar institusi jurnalistik. Kebebasan pers era orde lama dapat dibedah dari empat bahan pembentuk etika komunikasi.
    Pertama, berdasarkan standar moral,  pada era orde lama, dapat dilihat bahwa standar moral atau code of conduct yang berlaku spesifik untuk profesi jurnalis belum terbentuk. Pada masa itu, kode etik jurnalistik maupun undang-undang pers memang belum dirumuskan. Sehingga, para jurnalis di masa orde lama mengalami pergolakan batin yang cukup hebat. Di satu sisi mereka ingin karya jurnalistiknya diterbitkan sesuai idealisme mereka masing-masing dan kebebasan pers yang terjamin. Namun, di sisi lain, dengan adanya SIT yang mengontrol isi materi jurnalistik, jurnalis tidak lagi leluasa menjalankan kebebasan berpendapat mereka atau mengungkapkan kebenaran sesungguhnya kepada publik.
    Kedua, melalui teori normatif sebagai perangkat yang menganalisis pola hubungan antar institusi, kita dapat melihat bahwa pola hubungan negara dengan media massa di Indonesia pada masa orde lama bersifat otoriter, dimana etika komunikasi ditentukan dan tunduk pada pemerintah. Ketiga, nilai sosial yang terinternalisasi dalam diri jurnalis sebagai bagian dari etika komunikasi muncul dari nilai-nilai dalam komunitasnya. Nilai-nilai sosial yang muncul pada masa itu bisa jadi merupakan rasa takut pada pemerintah. Terutama karena adanya ancaman kehilangan pekerjaan dan dipenjara bagi para jurnalis. Namun, nilai-nilai sosial itu juga bisa berupa sikap kritis dengan mental kuat dimana para jurnalis berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ideologinya walaupun itu bertentangan dengan pemerintah. Terakhir, berdasarkan nilai filsafat, yang muncul dari kesadaran intelektual dan pendidikan karakter, jurnalis dapat memilih prinsip hidupnya untuk patuh pada kekangan pemerintah atau menolak otoritas pemerintah tersebut.
     
    KODE ETIK JURNALISTIK SERTA PERS YANG BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB

    1. Pengertian Kode Etik Jurnalistik
                Setiap kelompok profesi selalu memiliki kode etik. Adapun ciri dari suatu kode etik adalah sebagai berikut :
    a.  Kode etik mempunyai sanksi yang bersifat moral terhadap anggota kelompok tersebut
    b.  Daya jangkau suatu kode etik hanya tertuju kepada kelompok yang mempunyai kode etik tersebut
    c.  Kode etik dibuat dan di susun oleh lembaga / kelompok profesi yang bersangkutan sesuai dengan aturan organisasi itu dan bukan dari pihak luar.

    Seorang jurnalis tidak boleh mencelakakan sumber berita, baik itu karena keterusterangannya yang konyol dan tolol maupun karena tidak tahu situasi dan kondisi sumber berita yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikiann, kode etik jurnalistik sesungguhnya berfungsi sebagai berikut :
    a.       Alat control social, yaitu tidak hanya megatur hubungan antara sesame anggota seprofesi, tetapi juga dapat juga mengatur hubungan antara anggota organisasi profesi tersebut dengan masyarakat.
    b.      Mencegah adanya control dan campur tangan pihak lain, termasuk pemeritnah atau kelompok masyarakat tertentu.

    2. Bentuk-Bentuk Kode Etik
                Dalam sejarah pers Indonesia, terdapat jumlah kode etik yang dirumuskan dan diberlakukan oleh organisasi wartawan seperti PWI, AJI, dan dank kode etik yang dibuat bersama, yaitu KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia).
                Keputusan dewan kehormatan PWI tidak dapat diganggu gugat. Hukuman dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan PWI kepada pelaku pelanggaran kode etik jurnalistik sebagai berikut :
    a.                   Peringatan biasa
    b.                  Peringatan keras
    c.                   Skorsing dari keanggotaan PWI untuk selama-lamanya dua tahun
    Anggota PWI yang terkena hukuman karena pelanggaran kode etik jurnalistik dapat membela diri di kongres.

    Kode Etik
    Kode Etik Wartawan Indonesia atau KEWI merupakan kode etik yang disepakati semua organisasi wartawan cetak dan elektronik termasuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI), dan Himpunan Praktisi Penyiaran Indonesia (HPPI).
    Kode etik disusun 26 Organisasi wartawan di bandung tahun 1999 dengan semangat memajukan jurnalisme di era kebebasan pers.
    1.      Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
    2.      Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan
    3.      Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
    4.      Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat berdusta, sadis, cabul serta tidak menyebutkan identitas korban susila.
    5.      Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
    6.      Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, serta off the record sesuai kesepakatan.
    7.      Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan, serta melayani hak jawab.

    Kode Praktik bagi Media Pers
    Di luar kode etik jurnalistik yang telah disusun masing-masing organisasi wartawan. Dewan Pers menyusun Kode Praktik (Code of Practices) media sebagai upaya penegakan independensi serta penerapan prinsip pers mengatur sendiri (self regulated).
    a.                   Privasi
    b.                  Diskriminasi
    c.                   Akurasi
    d.                  Liputan Kriminalitas
    e.                   Pornografi
    f.                   Sumber Rahasia
    g.                  Hak Jawab dan Bantahan
    Kode Etik Jurnalistik
        Isi kode etik jurnalistik adalah sebagai berikut :
    a.  Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
    b.  Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit menta, atau latar belakang social lannya.
    c.  Jurnalis melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya
    d. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar
    e.  Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi
    f.   Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
    g.  Jurnalis menghormati hak narasumber
    h.  Jurnalis menghormati hak privasi, keculai hal-hal yang bias merugikan masyarakat
    i.    Jurnalis segera meralat setiap pemberitahuan yang diketahuinya tidak akurat
    j.    Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan.

    3. Penafsiran Kode Etik Wartawan Indonesia
    Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini, sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

    Kode Etik Wartawan Internasional
    Kode etik federasi wartawan internasional tersebut adalah sebagai berikut :
    1.      Dalam melaksanakan kewajiban ini, wartawan harus membela prinsp-prinsip kebebasan dan pengumpulan publikasi berita secara jujur, dan hak atas komentar, serta kritik yang adil.
    2.      Wartawan sedapat mungkin meralat setiap pembertaan yang telah dipublikasikan yang ternyata tidak benar dan merugikan orang lain.
    3.      Menghormati kebenaran dan hak-hak masyarakat akan kebenaran merupakan kewajiban utama seorang wartawan
    4.      Wartawan hendaknya dasar akan bahasa diskriminasi yang dikarenakan oleh media. Oleh karena itu, sedapat mungkin berusaha menghindari tindakan diskriminasi yang didasarkan pada ras, jenis kelamin, orientasi, asal usul, bahasa, seksual, agama, pendapat politik, atau pendapat lainnya. Serta asal usul kebangsaan socialnya.
    5.      Wartawan yang berhak menyadang gelar tersebut hendaknya dengan setiap menaati prinsip-prinsip tersebut di atas dalam menjalankan tugasnya.
    6.      Wartawan hendaknya memberi laporan yang sesuai dengan fakta yang diketahui sumbernya dan tidak menyembunyikan informasi yang penting atau memalsukan dokumen.
    7.      Wartawan hendaknya mengakui kerahasiaan professional kebenaran dengan sumber berita yang di dapatnya karena kepercayaan
    8.      Wartawan hendaknya menggunakan cara yang wajar / pantas untuk memperoleh berita, foto dan document.


    Undang-undang pers No. 40 Tahun 1999 dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ayat 1 tentang Pers
           Pasal 2 berbunyi “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supermasi hukum”.
    Pasal 4 ayat 1 berbunyi “ Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warganegara”.

    Aliran Tentang Teori Kebabasan Pers

    Teori tersebut adalah sebagai berikut :
    1.  Teori Pers Tootalitarian
    Teori ini di Rusia pada abad ke-19. Falsafah teori totalitarian adalah media massa sebagai alat Negara untuk menyampaikan segala sesuatunya kepada rakyat.
    2.  Teori Pers Libertarian
    Teori ini muncul di Inggris, kemudian masuk Ke Amerika Serikat hingga Keseluruh Dunia. Teori ini adalah pers memberi penerangan dan hiburan dengan menghargai sepenuhnya individu.
    3.  Teori Pers Social Responsibility.
    Teori ini menyatakan pers memiliki tanggung jawab. Falsafah teori ini adalah pers memberikan penerangan, hiburan dan juga menjual produk, namun pers dilarang melanggar kepentingan orang lain dan masyarakat.
    4.  Teori Pers Authoritarian
    Teori ini berkembang di Inggris pada abad ke 16 dan 17 dan kemudian keseluruh dunia, Falsafah pers ini adalah pers menjadi kekuasaan mutlak kerajaan atau pemerintahan yang berkuasa guna mendukung kebijakan.

    Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Pers
    Undang-undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebtukan “ Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,  keadilan, dan supermasi hukum”. tersebut dapat digunakan untuk menyampaikan pesan, namun jika flings^ penyampaian informasi/berita disalahgunakan hal ini dapat berdampak sebagai berikut antara lain:
    1.      Distorsi informasi: lazimnya dengan menambah atau mengurangi informasi, akibatnya maknanya berubah.
    2.      Dramatisasi fakta palsu: dapat dilakukan dengan memberikan ilustrasi secara verbal, auditif ataupun visual yang berlebihan mengenai suatu objek.
    3.      Mengganggu privacy: hal ini dilakukan melalui peliputan yang menggar hal-hal pribadi narasumber.
    4.      Pembunahan karakter: dilakukan dengan cara terus menerus menonjolkan sisi buruk individu/kelompok/organisasi tanpa menampilkan secara berimbang dengan tujuan membangun citra negatif yang menjatuhkan.
    5.      Eksploitasi seks: media menampilkan seks sebagai komoditas secara serampangan tanpa memerhatikan batasan norma dan kepatuhan
    6.      Meracuni pikiran anak-anak: eksploitasi kesadaran berpikir anak yang diarahkan secara tidak normal pada hal-hal yang tidak mendidik.
    7.      Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power): media menyalahgunakan kekuatannya dalam mempengaruhi opini publik dalam suatu praktik mass deception (pembogongan massa). Dampak negatif dari media berada dalam suatu bisnis yang bebas seperti

    Upaya Mewujudkan Kebebasan Pers yang Bertanggung Jawab

    Ciri-ciri Pers yang Bertanggung jawab
    Secara sengaja atau tidak, kebebasan pers yang bertanggung jawab berasal dari istilah free and responsibility press. Dalam konsepfree and responsibility press, terdapat ketergantungan manusia yang semakin besar kepada media massa modern. Hal ini menimbulkan kewajiban baru (tanggung jawab) di pihak pers dan hak yang bam di pihak masyarakat. Ciri-ciri pers yang bertanggung jawab adalah sebagai berikut.
    a.       Memelihara ketertiban umum.
    b.      Mengutamakan kejujuran dan fakta serta menghindari kebohongan(people's rights to know).
    c.       Tidak menyesatkan masyarakat.
    d.      Tidak menimbulkan keonaran dan keresahan serta tidak tendensius.
    e.       Tidak melakukan pemaksaan.
    f.       Tidak merusak kesusilaan (obscenity).

    Seorang wartawan yang baik harus menghayati tanggung jawabnya dalam berbagai segi, yaitu terhadap:
    1. hati nurani sendiri,
    2. sesama warga negara yang juga memiliki hak asasi,
    3. kepentingan umum yang diwakili pemerintah, dan
    4. sesama rekan seprofesi.

    Kebebasan pers harus berlandaskan pada hal-hal berikut.
    1. Pancasila.
    2. UUD 1945.
    3. Ketetapan MPR.
    4. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
    5. Tata nilai masyarakat
    6. Etika.  

    Kebebasan pers terjamin apabila dalam suatu negara terpenuhi tiga syarat berikut.
    a.       Tidak ada suatu kewajiban menurut hukum untuk meminta surat izin terbit bagi suatu pemberitaan pers kepada pemerintah.
    b.      Tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintah untuk melakukan penyensoran sebelumnya terhadap berita atau karangan yang akan dimuat dalam suatu penerbitan pers.
    c.       Tidak ada wewenang menurut hukum pada pemerintah untukmelakukan penerbitan pers, baik untuk selama-lamanya maupun untukjangka waktu tertentu.

    Jenis Tanggung Jawab pada Kebebasan Pers
    Berdasarkan jenisnya, terdapat empat tanggung jawab yang harus dipikul oleh wartawan, yaitu sebagai berikut.
    a.        Tanggung jawab terhadap media tempat wartawan itu bekerja dan organisasinya.
    b.      Tanggung jawab sosial yang berakibat adanya kewajiban melayani opini publik dan masyarakat secara keseluruhan.
    c.         Tanggung jawab dan kewajibannya yang berhubungan dengan keharusan bertindak sesuai dengan undang-undang.
    d.         Tanggung jawab terhadap masyarakat internasional yang berhubungan dengan nilai-nilai universal.


    Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

    a.    Asas Demokrasi
    Pers harus memegang prinsip demokrasi, yaitu dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi dengan menghormati dan menjamin adanya hak asasi manusia dan menjunjung tinggi kemerdekaan dalam penyampaian pikiran/pendapatnya, baik secara lisan maupun tulisan.

    b.   Asas Keadilan
    Dalam penyampaian informasinya kepada khalayak ramai (masyarakat) itu harus memegang teguh nilai keadilan. Dimana dalam pemberitaan itu tidak memihak atau tunduk pada salah satu pihak tetapi harus berimbang dan tidak merugikan salah satu pihak (berat sebelah)

    c.    Asas Supremasi Hukum
    Pers dalam menjalankan setiap kegiatannya harus berlandaskan hukum. Dimana meletakkan Hukum sebagai landasan bertindak yang diposisikan di tingkat tertinggi. Sehingga Pers tidak lantas begitu bebasnya bertindak meskipun telah ada jaminan Kebebasan Pers yang diberikan oleh Undang-Undang.

    Kode Etik Jurnalistik PWI

    Asas Profesionalistas

    1. Tidak memutarbalikkan fakta, tidak memfitnah
    2. Berimbang, adil dan jujur
    3. Mengetahui perbedaan kehidupan pribadi dan kepentingan umum
    4. Mengetahui teknis penulisan yang tidak melanggar “asas praduga tak bersalah” serta tidak merugikan korban kesusilaan
    5. Mengetahui kredibilitas nara sumber
    6. Sopan dan terhormat dalam mencari berita
    7. Tidak melakukan plagiat
    8. Meneliti semua kebenaran bahan berita terlebih dahulu
    9. Tanggung jawab moral besar ( mencabut sendiri berita yang salah walaupun tanpa ada permintaan)

    Asas Nasionalisme

    1. Prioritas kepentingan umum, mendahulukan kepentingan nasional
    2. Pers bebas mengkritik pemerintah sepanjang hal itu untuk kepentingan nasional
    3. Mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara
    4. Memperhatikan keselamatan keamanan bangsa
    5. Memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa

    Asas Demokrasi

    1. Pers dapat berisi promosi tetapi pers tidak boleh menjadi alat propaganda
    2. Harus cover both side
    3. Harus jujur dan berimbang

    Asas Religius
    1. Alam pemberitaannya tidak boleh melecehkan agama
    2. Menghormati agama, kepercayaan, dan keyakinan agama lain
    3. Beriman dan bertakwa

    Asas Yang Berlaku Universal

    a.Asas “Pars Prototo”
    Dalam hal ini dengan melihat sistem pemerintahan oleh Penguasa dalam suatu negara, maka kita bisa tahu sistem Pers yang berlaku di negara tersebut.

    b.Asas “Trial by Press”
    Dalam hal ini Pers tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili seseorang yang dianggap telah melakukan pelanggaran ataupun kejahatan, karena pada hakekatnya itu adalah kewenangan dari aparat penegak hukum. Sehingga Pers tidak diperbolehkan mengintervensi para aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa.

    c.Asas “Cover both sides”
    Pers dalam penyampaian informasi (pemberitaan) kepada masyarakat tidak boleh memihak salah satu pihak, dalam artian berita harus berimbang dan adil. Hal ini juga mengacu pada ketentuan pada pasal 5 Kode Etik Jurnalistik.

    Sekian, mohon maaf bila ada kesalahan, kritik dan saran yang membangun selalu saya terima (GAL)
    TERIMA KASIH

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perintah - Perintah Dasar Linux

Tutorial Cara Install Linux Debian

Setting IP dan konfigurasi TELNET